Nukilan-Nukilan Palsu Dari Kitab I’anatuth Thalibin


التفقه في الدين من اختاره من العباد، وأشهد أن لا إله الله، شهادةتدخلنا دار الخلود، وأشهد أن سيدنا محمدا ورسوله، صاحب المقام المحموم، صلى الله وسلم عليه وعلى آله وأصحابهالامجاد صلاة وسلاما أفوز بهما يوم المعاد. وبعد

PENGANTAR

Mengusik amalan seseorang Muslim dengan menukil pernyataan Ulama dari kitab Muktabar secara serampangan (mengguting-gunting kalimat) merupakan perbuatan keji dan sangat tidak berakhlak. Selain termasuk telah menyembunyikan kebenaran, juga termasuk telah memfitnah Ulama yang perkataannya telah mereka nukil, merendahkan kitab Ulama dan juga telah menipu kaum Muslimin. Dakwah mereka benar-benar penuh kepalsuan dan kebohongan. Mengatas namakan Madzhab Syafi’I untuk menjatuhkan amalan Tahlil, sungguh mereka keji juga dengki.

Kitab I’anatuth Thalibin (إعانة الطالبين) adalah kitab Fiqh karangan Al-‘Allamah Asy-Syekh Al-Imam Abi Bakr Ibnu As-Sayyid Muhammad Syatha Ad-Dimyathiy Asy-Syafi’i, yang merupakan syarah dari kitab Fathul Mu’in (فتح المعين لشرح قرة العين بمهمات الدين لزين الدين بن عبد العزيز المليباري الفنانى). Kitab ini sangat masyhur dikalangan masyarakat Indonesia dan juga salah satu kitab yang menjadi rujukan pengikut madzhab Syafi’iyyah dalam ilmu Fiqh diseluruh dunia. Namun, sayang, ada sebagain kecil kalangan yang tidak bermadzhab Syafi’i (anti Madzhab), mengaku pengikut salaf, mencomot-comot isi kitab ini untuk mengharamkan Tahlilan yang merupakan amalan sudah masyhur dikalangan pengikut madzhab Syafi’i. Bukannya berdakwah secara benar namuan yang mereka lakukan, malah menunjukkan kedengkian hati mereka dan ketidak jujuran mereka dalam menukil perkataan ulama. Ini hanya salah satu kitab yang kami coba luruskan dari nukilan tidak jujur yang telah mereka lakukan, masih banyak lagi kitab Ulama yang dicomot serampangan oleh mereka, seperti kitab Al-Umm (Imam Syafi’i), Al-Majmu’ Syarah Muhadzab Imam An-Nawawi, Mughni al-Muhtaaj ilaa Ma’rifati Ma’aaniy Alfaadz Al Minhaj, dan kitab-kitab ulama lainnya.

PEMBAHASAN

Setidak-tidaknya ada 5 pernyataan yang kami temukan, yang “mereka” comot dari kitab I’anah at-Thalibin secara tidak jujur dan memelintir (mensalah-pahami) maksud dari pernyataan tersebut untuk mengharamkan Tahlilan. Ini banyak dicantumkan disitus-situs mereka dan dikutip oleh sesama mereka secara serampangan pula. Berikut ini yang mereka nukil secara tidak jujur.

1. Sumber : http://ibnumaulay.multiply.com/journal/item/3

Ya, apa yang dilakukan manusia, yakni berkumpul di rumah keluarga si mayit, dan dihidangkan makanan, merupakan bid’ah munkarah, yang akan diberi pahala bagi orang yang mencegahnya, dengannya Allah akan kukuhlah kaidah-kaidah agama, dan dengannya dapat mendukung Islam dan muslimin” (I’anatuth Thalibin, 2/165)

Teks arabnya ;

(نعم، ما يفعله الناس من الاجتماع عند أهل الميت وصنع الطعام، من البدع المنكرة التي يثاب على منعها والي الامر)

2. Sumber : http://ibnumaulay.multiply.com/journal/item/3

“Dan apa yang dibiasakan manusia tentang hidangan dari keluarga si mayit yang disediakan untuk para undangan, adalah bid’ah yang tidak disukai agama, sebagaimana datangnya para undangan ke acara itu, karena ada hadits shahih yang diriwayatkan dari Jarir Radhiallahu ‘Anhu: Kami menganggap bahwa berkumpul di rumah keluarga si mayit, mereka menghidangkan makanan setelah penguburannya, adalah termasuk nihayah (meratap) –yakni terlarang.

Teks arabnya ;

وما اعتيد من جعل أهل الميت طعاما ليدعوا الناس إليه، بدعة مكروهة – كإجابتهم لذلك، لما صح عن جرير رضي الله عنه. كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصنعهم الطعام بعد دفنه من النياحة

3. Sumber : http://ibnumaulay.multiply.com/journal/item/3

“Dalam Kitab Al Bazaz:Dibenci menyediakan makanan pada hari pertama, tiga, dan setelah tujuh hari, dan juga mengirim makanan ke kuburan secara musiman.”

Teks arabnya ;

وفي البزاز: ويكره اتخاذ الطعام في اليوم الاول والثالث وبعد الاسبوع، ونقل الطعام إلى القبر في المواسم

4. Sumber : http://fauzyachmed.blogspot.com/2009/10/bismillah-assalaamualaikum-wa.html

“Dan diantara bid’ah yang munkarat yang tidak disukai ialah apa yang biasa dikerjakan orang tentang cara penyampaian rasa duka cita, berkumpul dan acara hari keempat puluh, bahkan semua itu adalah haram. (I’anatut Thalibin, Sarah Fathul Mu’in, Juz 2 hal. 145-146)

5. Sumber : http://fauzyachmed.blogspot.com/2009/10/bismillah-assalaamualaikum-wa.html

“Dan tidak ada keraguan sedikitpun, bahwa mencegah umat dari bid’ah munkarat ini adalah menghidupkan Sunnah Nabi SAW , mematikan BID’AH, membuka seluas-luasnya pintu kebaikan dan menutup serapat-rapatnya pintu-pintu keburukan, karena orang-orang memaksa-maksa diri mereka berbuat hal-hal yang akan membawa kepada hal yang diharamkan. (I’anatut Thalibin, Sarah Fathul Mu’in, Juz 2 hal. 145-146)

Itulah yang ‘mereka’ comot secara serampangan dan menterjemahkannya dengan memelintir maknanya. Kami akan mulai membahas point-point diatas, sebagai berikut :

Point Pertama (1)

Nukilan diatas merupakan bentuk ketidakjujuran, dimana orang yang membacanya akan mengira bahwa berkumpul di tempat ahlu (keluarga) mayyit dan memakan makanan yang disediakan adalah termasuk bid’ah Munkarah, padahal bukan seperti itu yang dimaksud oleh kalimat tersebut. ‘Mereka’ telah menggunting (menukil secara tidak jujur) kalimat tersebut sehingga makna (maksud) yang dkehendaki dari kalimat tersebut menjadi kabur. Padahal, yang benar, bahwa kalimat tersebut merupakan jawaban atas pertanyaan yang ditanyakan sebelumnya. Itu sebabnya, kalimat yang ‘mereka’ nukil dimulai dengan kata “na’am (iya)”.

Berikut teks lengkapnya;

وقد اطلعت على سؤال رفع لمفاتي مكة المشرفة فيما يفعله أهل الميت من الطعام. وجواب منهم لذلك. (وصورتهما). ما قول المفاتي الكرام بالبلد الحرام دام نفعهم للانام مدى الايام، في العرف الخاص في بلدة لمن بها من الاشخاص أن الشخص إذا انتقل إلى دار الجزاء، وحضر معارفه وجيرانه العزاء، جرى العرف بأنهم ينتظرون الطعام، ومن غلبة الحياء على أهل الميت يتكلفون التكلف التام، ويهيئون لهم أطعمة عديدة، ويحضرونها لهم بالمشقة الشديدة. فهل لو أراد رئيس الحكام – بما له من الرفق بالرعية، والشفقة على الاهالي – بمنع هذه القضية بالكلية ليعودوا إلى التمسك بالسنة السنية، المأثورة عن خير البرية وإلى عليه ربه صلاة وسلاما، حيث قال: اصنعوا لآل جعفر طعاما يثاب على هذا المنع المذكور ؟

“Dan sungguh telah aku perhatikan mengeni pertanyaan yang ditanyakan (diangkat) kepada para Mufti Mekkah (مفاتي مكة المشرفة) tentang apa yang dilakukan oleh Ahlu (keluarga) mayyit perihal makanan (membuat makanan) dan (juga aku perhatikan) jawaban mereka atas perkara tersebut. Gambaran (penjelasan mengenai keduanya ; pertanyaan dan jawaban tersebut) yaitumengenai (bagaimana) pendapat para Mufti yang mulya (المفاتي الكرام) di negeri “al-Haram”, (semoga (Allah) mengabadikan manfaat mareka untuk seluruh manusia sepanjang masa) , tentang kebiasaan (‘urf) yang khusus di suatu negeri bahwa jika ada yang meninggal , kemudian para pentakziyah hadir dari yang mereka kenal dan tetangganya, lalu terjadi kebiasaan bahwa mereka (pentakziyah) itu menunggu (disajikan) makanan dan karena rasa sangat malu telah meliputi ahlu (keluarga mayyit) maka mereka membebani diri dengan beban yang sempurna (التكلف التام), dan (kemudian keluarga mayyit) menyediakan makanan yang banyak (untuk pentakziyah) dan menghadirkannya kepada mereka dengan rasa kasihan. Maka apakah bila seorang ketua penegak hukum yang dengan kelembutannya terhadap rakyat dan rasa kasihannya kepada ahlu mayyit dengan melarang (mencegah) permasalahan tersebut secara keseluruhan agar (manusia) kembali berpegang kepada As-Sunnah yang lurus, yang berasal dari manusia yang Baik (خير البرية) dan (kembali) kepada jalan Beliau (semoga shalawat dan salam atas Beliau), saat ia bersabda, “sediakanlah makanan untuk keluarga Jakfar”, apakah pemimpin itu diberi pahala atas yang disebutkan (pelarangan itu) ?


أفيدوا بالجواب بما هو منقول ومسطور. (الحمد لله وحده) وصلى الله وسلم على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه والسالكين نهجهم بعده. اللهم أسألك الهداية للصواب. نعم، ما يفعله الناس من الاجتماع عند أهل الميت وصنع الطعام، من البدع المنكرة التي يثاب على منعها والي الامر، ثبت الله به قواعد الدين وأيد به الاسلام والمسلمين.
“Penjelasan sebagai jawaban terhadap apa yang telah di tanyakan, (الحمد لله وحده) وصلى الله وسلم على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه والسالكين نهجهم بعده, Ya .. Allah aku memohon kepada-Mu supaya memberikan petunjuk kebenaran”.

“Iya.., apa yang dilakukan oleh manusia dari berkumpul ditempat ahlu (keluarga) mayyit dan menghidangkan makanan, itu bagian dari bid’ah munkarah, yang diberi pahala bagi yang mencegahnya dan menyuruhnya. Allah akan mengukuhkan dengannya kaidah-kaidah agama dan mendorong Islamd serta umat Islam”

Betapa apa yang dikehendaki dari pernyataan diatas telah keluar konteks saat pertanyaannya dipotong sebagaimana nukilan mereka dan ini yang mereka gunakan untuk melarang Tahlilan. Ketidak jujuran ini yang mereka dakwahkan untuk menipu umat Islam atas nama Kitab I’anatuth Thalibin dan Al-‘Allamah Asy-Syekh Al-Imam Abi Bakr Ibnu As-Sayyid Muhammad Syatha Ad-Dimyathiy Asy-Syafi’i.

Dalam pertanyaan dan jawaban diatas, yang sebenarnya termasuk bagian dari bid’ah Munkarah adalah kebiasaan pentakziyah menunggu makanan (بأنهم ينتظرون الطعام) di tempat ahlu (keluarga) yang terkena mushibah kematian, akal sehat pun akan menganggap bahwa kebiasaan itu tidak wajar dan memang patut untuk di hentikan. Maka, sangat wajar juga bahwa Mufti diatas menyatakan kebiasaan tersebut sebagai bid’ah Munkarah, dan penguasa yang menghentikan kebiasaan tersebut akan mendapat pahala. Namun, karena keluasan ilmu dari Mufti tersebut tidak berani untuk menetapkan hokum “Haram” kecuali jika memang ada dalil yang jelas dan sebab-sebabnya pun luas.

Tentu saja, Mufti tersebut kemungkinan akan berkata lain jika membahasnya pada sisi yang lebih umum (bukan tentang kasus yang ditanyakan), dimana pentakziyah datang untuk menghibur, menyabarkan ahlu (keluarga) mayyit bahkan membawa (memberi) bantuan berupa materi untuk pengurusan mayyit dan untuk menghormati pentakziyah yang datang.

Pada kegiatan Tahlilan orang tidak akan datang ke rumah ahlul mushibah dengan kehendaknya sendiri, melainkan atas kehendak tuan rumah. Jika tuan rumah merasa berat tentu saja tidak perlu mengadakan tahlilan dan tidak perlu mengundang. Namun, siapa yang lebih mengerti dan paham tentang “memberatkan” atau “beban” terhadap keluarga mayyit sehingga menjadi alasan untuk melarang kegiatan tersebut, apakah orang lain atau ahlu (keluarga) mayyit itu sendiri ? tentu saja yang lebih tahu adalah ahlu (keluarga) mayyit. Keinginan ahlu (keluarga) mayyit untuk mengadakan tahlilan dan mengundang tetangga atau orang lain untuk datang ke kediamannya merupakan pertanda ahlu (keluarga) mayyit memang menginginkannya dan tidak merasa keberatan, sementara para tetangga (hadirin) yang diundang sama sekali tidak memaksa ahlu (keluarga) mayyit untuk mengadakan tahlilan. Ahlu (keluarga) mayyit mengetahui akan dirinya sendiri bahwa mereka mampu dan dengan senang hati beramal untuk kepentingan saudaranya yang meninggal dunia, sedangkan hadirin hanya tahu bahwa mereka di undang dan memenuhi undangan ahlu (keluarga) mayyit.

Sungguh betapa sangat menyakitkan hati ahlu (keluarga) mayyit jika undangannya tidak dipenuhi dan bahkan makanan yang dihidangkan tidak dimakan atau tidak disentuh. Manakah yang lebih utama, melakukan amalan yang “dianggap makruh” dengan menghibur ahlu (keluarga) mayyit, membuat hati ahlu (keluarga) mayyit senang atau menghindari “yang dianggap makruh” dengan menyakiti hati ahlu (keluarga) mayyit ? Tentu saja akan yang sehat pun akan menilai bahwa menyenangkan hati orang dengan hal-hal yang tidak diharamkan adalah sebuah kebaikan yang berpahala, dan menyakiti perasaannya adalah sebuah kejelekan yang dapat berakibat dosa.

Disisi yang lain antara ahlu (keluarga) mayyit dan yang diundang, sama-sama mendapatkan kebaikan. Dimana ahlu (keluarga) mayyit telah melakukan amal shaleh dengan mengajak orang banyak mendo’akan anggota keluarga yang meninggal dunia, bersedekah atas nama mayyit, dan menghormati tamu dengan cara memberikan makanan dan minuman. Pada sisi yang di undang pun sama-sama melakukan amal shaleh dengan memenuhi undangan, mendo’akan mayyit, berdzikir bersama, menemani dan menghibur ahlu (keluarga) mayyit. Manakah dari hal-hal baik tersebut yang diharamkan ? Sungguh ulama yang mumpuni benar-benar bijaksana dalam menetapkan hokum “makruh” karena melihat dengan seksama adanya potensi “menambah kesedihan atau beban merepotkan”, meskipun jika seandainya hal itu tidak benar-benar ada.

Adanya sebagian kegiatan Tahlilan yang dilakukan oleh orang awam, yang sangat membebani dan menyusahkan, karena ketidak mengertiannya pada dalam masalah agama, secara umum tidak bisa dijadikan alasan untuk menetapkan hokum haram atau terlarang. Bagi mereka lebih pantas diberi tahu atau diajari bukan di hukumi.

Selanjutnya,

Point Kedua (2) :

Juga bentuk ketidak jujuran dan mensalah pahami maksud dari kalimat tersebut. Kata yang seharusnya merupakan status hokum namun diterjemahkan sehingga maksud yang terkandung dari pernyataan tersebut menjadi berbeda. Ungkapan-ungkapan ulama seperti akrahu” (saya membenci), “makruh” (dibenci), “yukrahu” (dibenci), “bid’ah munkarah” (bid’ah munkar), “bid’ah ghairu mustahabbah” (bid’ah yang tidak dianjurkan), dan “bid’ah mustaqbahah” (bid’ah yang dianggap jelek), semua itu mereka pahami sebagai larangan yang berindikasi hokum haram mutlak. Padahal didalam kitab tersebut, berkali-kali dinyatakan hokum “makruh” untuk kegiatan berkumpul di rumah ahlu (keluarga) mayyit dan dihidangkan makanan, terlepas dari hokum-hukum perkara lain seperti takziyah, hokum mendo’akan, bersedekah untuk mayyit, dimana semua itu dihukumi sunnah.

Terjemahan “mereka” :

“Dan apa yang dibiasakan manusia tentang hidangan dari keluarga si mayit yang disediakan untuk para undangan, adalah bid’ah yang tidak disukai agama, sebagaimana datangnya para undangan ke acara itu, karena ada hadits shahih yang diriwayatkan dari Jarir Radhiallahu ‘Anhu: Kami menganggap bahwa berkumpul di rumah keluarga si mayit, mereka menghidangkan makanan setelah penguburannya, adalah termasuk nihayah (meratap) –yakni terlarang.

Berikut teksnya (yang benar),

وما اعتيد من جعل أهل الميت طعاما ليدعوا الناس إليه، بدعة مكروهة – كإجابتهم لذلك، لما صح عن جرير رضي الله عنه. كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصنعهم الطعام بعد دفنه من النياحة
“Dan kebiasaaan dari ahlu (keluarga) mayyit membuat makanan untuk mengundang (mengajak) menusia kepadanya, ini bid’ah makruhah (bid’ah yang makruh), sebagaimana mereka memenuhi ajakan itu, sesuai dengan hadits shahih dari Jarir ra, “Kami (sahabat) menganggap bahwa berkumpul ke ahlu (keluarga) mayyit dan menyediakan makanan (untuk mereka) setelah dikuburnya (mayyit) <adalah bagian dari meratap (an-Niyahah)”.

Mereka secara tidak jujur menterjemahkan status hokum “Makruh” pada kalimat diatas dan hal itu sudah menjadi tuntutan untuk tidak jujur bagi mereka sebab mereka telah menolak pembagian bid’ah. Karena penolakan tersebut, maka mau tidak mau mereka harus berusaha memelintir maksud bid’ah makruhah (bid’ah yang makruh) tersebut.

Padahal bid’ah juga dibagi menjadi lima (5) status hukum namun mereka tolak, sebagaimana yang tercantum dalam kitab al-Imam an-Nawawi yaitu Syarah Shahih Muslim ;

أن البدع خمسة أقسام واجبة ومندوبة ومحرمة ومكروهة ومباحة
“Sesungguhnya bid’ah terbagi menjadi 5 macam ; bid’ah yang wajib, mandzubah (sunnah), muharramah (bid’ah yang haram), makruhah (bid’ah yang makruh), dan mubahah (mubah)” [Syarh An-Nawawi ‘alaa Shahih Muslim, Juz 7, hal 105]

Bila ingin memahami perkataan Ulama madzhab Syafi’I, maka pahami juga istilah-istilah yang ada dan digunakan didalam madzhab Syafi’i. Penolakan mereka terhadap pembagian bid’ah ini, mengandung konsekuensi yang besar bagi mereka sendiri saat dihadapkan dengan kitab-kitab ulama Madzhab Syafi’iyyah, dan untuk menghidarinya, satu-satunya jalan adalah dengan jalan tidak jujur atau mengaburkan maksud yang terkandung dari sebuah kalimat. Siapapun yang mengikuti pemahaman mereka maka sudah bisa dipastikan keliru.

Status hokum yang disebutkan pada kalimat diatas adalah “Makruh”. Makruh adalah makruh dan tetap makruh, bukan haram. Dimana pengertian makruh adalah “Yutsab ala tarkihi wala yu’aqabu ala fi’lihi yaitu mendapat pahala apabila ditinggalkan dan tidak mendapat dosa bila di lakukan”. Makruh yang disebutkan diatas, juga terlepas dari hokum takziyah itu sendiri.

Kemudian persoalan “an-Niyahah (meratap)” yang pada hadits Shahih diatas, dimana hadits tersebut juga dikeluarkan oleh Ibnu Majah ;

عَنْ جَرِيْرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ الْبَجَلِيِّ قَالَ: كُنَّا نَرَى اْلاِجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعَةَ الطَّعَامِ مِنَ النِّيَاحَةِ
“Kami (para sahabat) memandang berkumpul di ahlu (keluarga) mayyit dan membuat makanan termasuk bagian dari meratap”

“An-Niyahah” memang perbuatan yang dilarang dalam agama. Namun, bukan berarti sama sekali tidak boleh bersedih atau menangis saat ada anggota keluarga yang meninggal dunia, sedangkan Rasulullah saja menangis mengeluarkan air mata saat cucu Beliau (Fatimah) wafat. Disaat Beliau mencucurkan air mata, (sahabat) Sa’ad berkata kepada Rasulullah ;

فَقَالَ سَعْدٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا هَذَا فَقَالَ هَذِهِ رَحْمَةٌ جَعَلَهَا اللَّهُ فِي قُلُوبِ عِبَادِهِ وَإِنَّمَا يَرْحَمُ اللَّهُ مِنْ عِبَادِهِ الرُّحَمَاءَ
“..maka Sa’ad berkata ; Ya .. Rasulullah (يَا رَسُولَ اللَّهِ) apakah ini ? “Ini (kesedihan ini) adalah rahmat yang Allah jadikan di hati para hamba-Nya, Allah hanya merahmati hamba-hamba-Nya yang mengasisihi (ruhama’)” [HR. Imam Bukhari No. 1284]

Rasulullah juga menangis saat menjelang wafatnya putra Beliau yang bernama Ibrahim, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abdurrahman bin ‘Auf,

فَقَالَ لَهُ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَأَنْتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَقَالَ يَا ابْنَ عَوْفٍ إِنَّهَا رَحْمَةٌ ثُمَّ أَتْبَعَهَا بِأُخْرَى فَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الْعَيْنَ تَدْمَعُ وَالْقَلْبَ يَحْزَنُ وَلَا نَقُولُ إِلَّا مَا يَرْضَى رَبُّنَا وَإِنَّا بِفِرَاقِكَ يَا إِبْرَاهِيمُ لَمَحْزُونُونَ
“..maka Abdurrahmah bebin ‘Auf berkata kepada Rasulullah, “dan anda wahai Rasulullah ?, Rasulullah berkata, “wahai Ibnu ‘Auf sesungguhnya (tangisan) itu rahmat, dalam sabda yang lain beliau kata, “sesungguhnya mata itu mencucurkan air mata, dan hati bersedih, dan kami tidak mengatakan kecuali apa yang menjadi keridhaan Allah, sesungguhnya aku adalah orang yang bersedih karena perpisahanku dengan Ibrahim”. [HR. Imam Bukhari No. 1303]

Rasulullah juga menangis di makam ibunda beliau sehingga orang yang bersamanya pun ikut menangis sebagaimana diriwayatkan di dalam hadis-hadis shahih [lihat Mughni al-Muhtaaj ilaa Ma’rifati Ma’aaniy Alfaadz Al Minhaj, Al-Allamah Al-Imam Muhammad al-Khathib asy-Syarbini, Dar el-Fikr, juz 1, hal. 356).
Maka meratap yang sebenarnya dilarang (diharamkan) yang disebut sebagai “An-Niyahah” adalah menangisi mayyit dengan suara keras hingga menggerung apalagi diiringi dengan ekspresi berlebihan seperti memukul-mukul atau menampar pipi,
menarik-narik rambut, dan lain sebagainya.
Kembali kepada status hokum “Makruh” diatas, sebagaimana juga dijelaskan didalam Kitab al-Mughniy ;

فأما صنع أهل الميت طعاما للناس فمكروه لأن فيه زيادة على مصيبتهم وشغلا لهم إلى شغلهم وتشبها بصنع أهل الجاهلية
“Maka adapun bila ahlu (keluarga) mayyit membuat makanan untuk orang, maka itu Makruh, karena bisa menambah atas mushibah mereka, menambah kesibukan mereka (merepotkan) dan meniru-niru perbuatan Jahiliyah” [Al-Mughniy Juz
II/215]

Makruh bukan haram, dan status hokum Makruh bisa berubah menjadi Mubah (Jaiz/boleh) jika keadaannya sebagaimana digambarkan dalam kitab yang sama, berikut ini ;

وإن دعت الحاجة إلى ذلك جاز فإنه ربما جاءهم من يحضر ميتهم من القرى والأماكن البعيدة ويبيت عندهم ولا يمكنهم إلا أن يضيفوه
“Dan jika melakukannya karena ada (sebab) hajat, maka itu diperbolehkan (Jaiz), karena barangkali diantara yang datang ada yang berasal dari pedesaan, dan tempat-tempat yang jauh, dan menginap dirumah mereka, maka tidak bisa (tidak mungkin) kecuali mereka mesti di jamu (diberi hidangan)” [” [Al-Mughniy Juz II/215]

Selanjutnya,

Point Ketiga (3)

Penukilan (pada point 3) ini juga tidak tepat dan keluar dari konteks, sebab pernyataan tersebut masih terikat dengan kalimat sebelumnya. Dan mereka juga mentermahkan status hokum yang ditetapkan dalam kitab Al-Bazaz.

Terjemahan “Mereka” :

“Dalam Kitab Al Bazaz: Dibenci menyediakan makanan pada hari pertama, tiga, dan setelah tujuh hari, dan juga mengirim makanan ke kuburan secara musiman.”

Berikut teksnya

وقال أيضا: ويكره الضيافة من الطعام من أهل الميت، لانه شرع في السرور، وهي بدعة. روى الامام أحمد وابن ماجه بإسناد صحيح، عن جرير بن عبد الله، قال: كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصنعهم الطعام من النياحة. اه. وفي البزاز: ويكره اتخاذ الطعام في اليوم الاول والثالث وبعد الاسبوع، ونقل الطعام إلى القبر في المواسم إلخ
“Dan (juga) berkata; “dan dimakruhkan penyediaan jamuan besar (الضيافة) dari Ahlu (keluarga) mayyit, karena untuk mengadakan kegembiran (شرع في السرور), dan ini adalah bi’dah. Diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad dan Ibnu Majah dengan isnad yang dshahih, dari Jarir bin Abdullah, berkata ; “kami (sahabat) menganggap berkumpulnya ke (tempat) ahlu (keluarga) mayyit dan menyediakan makanan bagian dari merapat”. Dan didalam kitab Al-Bazaz, “diMakruhkan menyediakan makanan pada hari pertama, ke tiga dan setelah satu minggu dan (juga) dikatakan (termasuk) makanan (yang dibawa) ke kuburan pada musiman”.

Apa yang dijelaskan didalam kitab Al-Bazaz adalah sebagai penguat pernyataan Makruh sebelumnya, jadi masih terkait dengan apa yang disampaikan sebelumnya. Namun sayangnya, mereka menukil separuh-separuh sehingga maksud dari pernyataan tersebut melenceng, parahnya lagi (ketidak jujuran ini) mereka gunakan untuk melarang Tahlilan karena kebencian mereka terhadap kegiatan tersebut dan tidak menjelaskan apa yang sebenarnya dimakruhkan.

Yang dimakruhkan adalah berupa jamuan besar untuk tamu (“An-Dliyafah/الضيافة”) yang dilakukan oleh ahlu (keluarga) mayyit untuk kegembiraan. Status hokum ini adalah makruh bukan haram, namun bisa berubah menjadi jaiz (mubah) sebagaimana dijelaskan pada point 2 (didalam Kitab Al-Mughniy).

Selanjutnya,

Point Ke-Empat (4)

Lagi-lagi mereka menterjemahkan secara tidak jujur dan memenggal-menggal kalimat yang seharunya utuh.

Terjemahan ‘mereka’ ;

“Dan diantara bid’ah yang munkarat yang tidak disukai ialah apa yang biasa dikerjakan orang tentang cara penyampaian rasa duka cita, berkumpul dan acara hari keempat puluh, bahkan semua itu adalah haram.” (I’anatut Thalibin, Sarah Fathul Mu’in, Juz 2 hal. 145-146)

Mereka telah memotong kalimatnya hanya sampai disitu. Sungguh ini telah memfitnahatas nama ulama (Pengarang kitab I’anatuth Thabilibin).

Berikut teks lengkapnya (yang benar);

وفي حاشية العلامة الجمل على شرح المنهج: ومن البدع المنكرة والمكروه فعلها: ما يفعله الناس من الوحشة والجمع والاربعين، بل كل ذلك حرام إن كان من مال محجور، أو من ميت عليه دين، أو يترتب عليه ضرر، أو نحو ذلك.
“Dan didalam kitab Hasiyatul Jamal ‘alaa Syarh al-Minhaj (karangan Al-‘Allamah asy-Syekh Sulaiman al-Jamal) ; “dan sebagian dari bid’ah Munkarah dan Makruh mengerjakannya yaitu apa yang dilakukan orang daripada berduka cita , berkumpul dan 40 harian, bahkan semua itu haram jika (dibiayai) dari harta yang terlarang (haram), atau dari (harta) mayyit yang memiliki (tanggungan) hutang atau (dari harta) yang bisa menimbulkan bahaya atasnya, atau yang lain sebagainya”

Begitu jelas ketidak jujuran yang mereka lakukan dan penipuan terhadap umat Islam yang mereka sebarkan melalui website dan buku-buku mereka.

Buku mereka yang memuat terjemahan tidak jujur diatas adalah buku yang berjudul“Membongkar Kesesatan Tahlilan”, hal. 31, disana ditulis :

“Dan di antara bid’ah munkaroh yang sangat dibenci adalah apa yang dilakukan orang di hari ketujuh dan di hari ke-40-nya. semua itu haram hukumnya” (lihat buku Membongkar Kesesatan Tahlilan, hal. 31).

Dan juga dalam buku “Mantan Kiai NU Menggugat Tahlilan”:

“Di antara bid’ah munkarat yang tidak disukai ialah perkara yang sangat biasa diamalkan oleh individu dalam majelis untuk menyampaikan rasa duka cita (kenduri arwah), berkumpul dan membuat jamuan majelis untuk kematian pada hari keempat puluh, bahkan semua itu adalah haram” (lihat buku Mantan Kiai NU Menggugat Tahlilan, hal. 69).

Kalimat yang seharusnya di lanjutkan di potong. Mereka telah menyembunyikan maksud yang sebenarnya dari ungkapan ulama yang berasal dari kitab aslinya. Mereka memenggal kalimat secara “seksama” (penipuan yang direncanakan/disengaja, red) demi tercapainya tujuan mereka yaitu melarang bahkan mengharamkan Tahlilan, seolah olah tujuan mereka didukung oleh pendapat Ulama, padahal hanya didukung oleh tipu daya mereka sendiri yang mengatas namakan ulama. Bukankah hal semacam ini juga termasuk telah memfitnah Ulama ? menandakan bahwa pelakunya berakhlak buruk juga lancang terhadap Ulama ? Ucapan mereka yang katanya menghidupkan sunnah sangat bertolak belakang dengan prilaku penipuan yang mereka lakukan.

Selanjutnya,

Point Ke-Lima (5)

Terjemahan mereka,

“Dan tidak ada keraguan sedikitpun, bahwa mencegah umat dari bid’ah munkarat ini adalah menghidupkan Sunnah Nabi SAW , mematikan BID’AH, membuka seluas-luasnya pintu kebaikan dan menutup serapat-rapatnya pintu-pintu keburukan, karena orang-orang memaksa-maksa diri mereka berbuat hal-hal yang akan membawa kepada hal yang diharamkan. (I’anatut Thalibin, Sarah Fathul Mu’in, Juz 2 hal. 145-146)

Kalimat diatas sebenarnya masih berkaitan dengan kalimat sebelumnya, oleh karena itu harus dipahami secara keseluruhan. Berikut ini adalah kelanjutan dari kalimat pada point ke-4.

. وقد قال رسول الله (ص) لبلال بن الحرث رضي الله عنه: يا بلال من أحيا سنة من سنتي قد أميتت من بعدي، كان له من الاجر مثل من عمل بها، لا ينقص من أجورهم شيئا. ومن ابتدع بدعة ضلالة لا يرضاها الله ورسوله، كان عليه مثل من عمل بها، لا ينقص من أوزارهم شيئا. وقال (ص): إن هذا الخير خزائن، لتلك الخزائن مفاتيح، فطوبى لعبد جعله الله مفتاحا للخير، مغلاقا للشر. وويل لعبد جعله الله مفتاحا للشر، مغلاقا للخير.
“Dan sungguh Rasulullah bersabda kepada Bilal bin Harits (رضي الله عنه) : “wahai Bilal, barangsiapa yang menghidupkan sunnah dari sunnahku setelah dimatikan sesudahku, maka baginya pahala seperti (pahala) orang yang mengamalkannya, tidak dikurangi sedikitpun dari pahala mereka (orang yang mengamalkan) dan barangsiapa yang mengada-adakan (membuat) bid’ah dhalalah dimana Allah dan Rasul-Nya tidak akan ridha, maka baginya (dosa) sebagaimana orang yang mengamalkannya dan tidak dikurangi sedikitpun dari dosa mereka”. dan Nabi bersabda ; “Sesungguhnya kebaikan (الخير) itu memiliki khazanah-khazanah, khazanah-khazanah itu ada kunci-kuncinya (pembukanya), Maka berbahagialah bagi hamba yang telah Allah jadikan pada dirinya pembuka untuk kebaikan dan pengunci keburukan. Maka, celakalah bagi hamba yang telah Allah jadikan pada dirinya pembuka keburukan dan pengunci kebaikan”

ولا شك أن منع الناس من هذه البدعة المنكرة فيه إحياء للسنة، وإماته للبدعة، وفتح لكثير من أبواب الخير، وغلق لكثير من أبواب الشر، فإن الناس يتكلفون تكلفا كثيرا، يؤدي إلى أن يكون ذلك الصنع محرما. والله سبحانه وتعالى أعلم.
“dan tidak ada keraguan bahwa mencegah manusia dari bid’ah Munkarah ini,padanya termasuk menghidupkan as-Sunnah, dan mematikan bagi bid’ah, dan membuka pada banyak pintu kebaikan, dan mengunci kebayakan pintu keburukan..Maka jika manusia membebani (dirinya) dengan beban yang banyak, itu hanya akan mengantarkan mereka kepada perkara yang diharamkan.

Jika hanya membaca sepintas nukilan dari mereka, akan terkesan seolah-olah adanya pelarangan bahwa berkumpulnya manusia dan makan hidangan di tempat ahlu (keluarga) mayyit adalah diharamkan sebagaimana yang telah mereka nukil secara tidak jujur dipoint-4 atau bahkan ketidak jelasan mengenai bid’ah Munkarah yang dimaksud, padahal pada kalimat sebelumnya (lihat point-4) sudah dijelaskan dan status hukumnya adalah Makruh, namun memang bisa mengantarkan pada perkara yang haram jika membebani dengan beban yang banyak (تكلفا كثيرا) sebagaimana dijelaskan pada akhir-akhir point ke-5 ini dan juga pada point-4 yaitu jika (dibiayai) dari harta yang terlarang , atau dari (harta) mayyit yang memiliki (tanggungan) hutang atau (dari harta) yang bisa menimbulkan bahaya atasnya.

PENUTUP

Demikian apa yang bisa kami sampaikan untuk meluruskan nukil-nukilan tidak jujur dari “pendakwah salaf” yang katanya “pengikut salaf” namun sayang sekali prilaku mereka sangat bertolak belakang dengan prilaku salaf bahkan lebih buruk.

Kami menghimbau agar jangan terlalu percaya dengan nukilan-nukilan mereka, sebaiknya mengecek sendiri atau tanyakan pada ulama atau ustadz tempat antum masing-masing agar tidak menjadi korban internet dan korban penipuan mereka. Masih banyak kitab ulama lainnya yang mereka pelintir maksudnya. Maka berhati-hatilah. []


والله سبحانه وتعالى أعلم
Abdurrohim ats-Tsauriy

Situs & buku yg memuat nukilan palsu (bohong) diatas :

– Buku “Membongkar Kesesatan Tahlilan”
– Buku “Mantan Kiai NU Menggugat Tahlilan”
http://fauzyachmed.blogspot.com/2009/10/bismillah-assalaamualaikum-wa.html
http://micr0byt3.wordpress.com/2007/08/28/tahlilan-dan-selamatan-menurut-madzhab-syafii/
http://ibnumaulay.multiply.com/journal/item/3
http://www.mesra.net/forum/lofiversion/index.php/t38399.html
– Dan lain-lain kemungkinan masih banyak.

Referensi :


– Kitab I’anatuth Thalibin, Al-‘Allamah Asy-Syekh Al-Imam As-Sayyid Ad-Dimyathiy Asy-Syafi’i
– Syarh An-Nawawi ‘alaa Shahih Muslim, Al-Imam Hujjatul Islam An-Nawawi
– Shahih Al-Bukhari, Imam Bukhari
– Situs yang disebutkan diatas
– Dari berbagai sumber

52 Responses

  1. Reblogged this on nazarshf.

  2. wah,wah,wah…..setahu saya para imam madzhab saling mengerti dan memahami perbedaan yang terjadi antara mereka…. dan tetap dalam saling menghormati dan memuliakannya……tapi yang terjadi sekarang orang-orang berbeda pandangan dan amaliah tapi saling menyalahkan,mengejek, dan mencaci ……..katanya tahu alqur’an dan alhadits……apakah amal yang telah dilakukan baik oleh pelaku tahlil atau yang anti tahlil jelas-jelas akan mengantarkannya masuk surganya Allah……saya hanya mengingatkan siapapun yang masuk surga adalah HANYA KARENA RAHMAT ALLAH….trima kasih…

  3. Imam Nawawi Asy-Syafi’i (wafat tahun 676 H) dalam kitab Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab menjelaskan :
    قَالَ الشَّافِعِيُّ فِي الْمُخْتَصَرِ وَأُحِبُّ لِقَرَابَةِ الْمَيِّتِ وَجِيرَانِهِ أَنْ يَعْمَلُوا لِأَهْلِ الْمَيِّتِ فِي يَوْمِهِمْ وَلَيْلَتِهِمْ طَعَامًا يُشْبِعُهُمْ فَإِنَّهُ سُنَّةٌ وَفِعْلُ أَهْلُ الْخَيْرِ قَالَ صَاحِبُ الشَّامِلِ وَغَيْرُهُ وَأَمَّا إصْلَاحُ أَهْلِ الْمَيِّتِ طَعَامًا وَجَمْعُ النَّاسِ عَلَيْهِ فَلَمْ يُنْقَلْ فيه شئ وَهُوَ بِدْعَةٌ غَيْرُ مُسْتَحَبَّةٍ هَذَا كَلَامُ صَاحِبِ الشَّامِلِ وَيُسْتَدَلُّ لِهَذَا بِحَدِيثِ جَرِيرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ ” كُنَّا نَعُدُّ الِاجْتِمَاعَ إلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنِيعَةَ الطَّعَامِ بَعْدَ دَفْنِهِ مِنْ النِّيَاحَةِ ”
    Imam Syafi’i berkata dalam Al-Muhtashar : Dan saya menyukai bagi keluarga dekat si mayit dan para tetangganya untuk memberi makanan kepada keluarga mayit dan bisa mengenyangkan mereka selama sehari semalam karena itu sunnah dan merupakan perbuatan ahli kebaikan.
    “Penulis kitab Asy-Syamil mengatakan, ‘Adapun menyiapkan makanan bagi keluarga yang berduka dan mengumpulkan orang-orang kepadanya, itu tidak pernah diriwayatkan sama sekali’”
    Dia menambahkan, ‘Hal ini bid’ah dan tidak dianjurkan, sebagaimana yang telah dipaparkan’.
    Demikianlah perkataan Pengarang kitab Asy-Syamil berdasarkan hadits dari Jarir bin Abdullah Bajali, dia berkata, “Kami (para sahabat) berpendapat bahwa berkumpul-kumpul di rumah keluarga mayit dan membuat makanan sesudah penguburannya termasuk ratapan”
    [lihat Raudhatuth Thalibin 1/139].

    Renungan :
    1. Mengapa Imam Nawawi tidak menyuruh keluarga mayit untuk bersedekah kepada para tetangga?
    2. Mengapa Imam Nawawi tidak menyuruh keluarga mayit dan para tetangganya untuk membaca al-Qur’an bersama-sama selama tujuh malam?
    3. Mengapa Imam Nawawi tidak melarang keluarga mayit dan para tetangganya yang membaca al-Qur’an bersama-sama selama tujuh malam?

  4. 1. Imam Syafi’i (wafat tahun 204 H/820 M) dalam Kitab Al-Umm berkata :
    وَأُحِبُّ لِجِيرَانِ الْمَيِّتِ أو ذِي قَرَابَتِهِ أَنْ يَعْمَلُوا لأَهْلِ الْمَيِّتِ في يَوْمِ يَمُوتُ وَلَيْلَتِهِ طَعَامًا يُشْبِعُهُمْ فإن ذلك سُنَّةٌ وَذِكْرٌ كَرِيمٌ وهو من فِعْلِ أَهْلِ الْخَيْرِ قَبْلَنَا وَبَعْدَنَا لأَنَّهُ لَمَّا جاء نَعْيُ جَعْفَرٍ قال رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم اجْعَلُوا لِآلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا فإنه قد جَاءَهُمْ أَمْرٌ يَشْغَلُهُمْ
    Dan saya menyukai apabila tetangga si mayit atau kerabatnya membuat makanan untuk keluarga mayit pada hari meninggal dan pada malam harinya yang dapat mengenyangkan mereka, hal itu sunah dan merupakan sebutan yang mulia, dan merupakan pekerjaan orang-orang yang menyenangi kebaikan, karena tatkala datang berita wafatnya Ja’far, maka Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja’far, karena telah datang kepada mereka urusan yang menyibukkan” (Musnad Syafi’I, no. 1688) [Ringkasan Kitab Al-Umm 1, hal. 387]
    Renungan :
    1. Mengapa Imam Syafi’I tidak menyuruh keluarga mayit untuk bersedekah kepada para tetangga?
    2. Mengapa Imam Syafi’I tidak menyuruh keluarga mayit dan para tetangganya untuk membaca al-Qur’an bersama-sama selama tujuh malam?
    3. Mengapa Imam Syafi’I tidak melarang keluarga mayit dan para tetangganya yang membaca al-Qur’an bersama-sama selama tujuh malam?

  5. TULISAN QUR’AN itu BID”AH Bunk…Berani Berkata SESAT…..???

  6. yang menulis ini apa tidak melakukan bid’ah kok ada kata-kata ajaran syetan segala….PERNAHKAN RASul mengajarkan bertengkar…dan ber-Komputer….Wong tulisannya semua masih menyontek pada karya ulama…Tolong Saya ingin Tahu hasil Yang menulis ini tanpa Meniru Hasil Karya Ulama Besar….Kalau Masih Mengekor Jangan Bertingkah Bunk….?????

  7. Kalau yang melarang istihsan itu siapa yah? …
    Imam Syafi’i kah?
    Lantas masalah ini termasuk kah?

  8. kalau boleh tahu siapakah yang melarang istihsan? ….
    Imam Syafi’ikah ? …

  9. bisakah saya dapat terjemehan kitab dari i’anah ath-tholibin?? insya Allah saya sanggup membelinya walaupun agak mahal,,,,,,trims sebelumnya….

  10. apapun kitabnya siapapun pengarangnya, kalau isinya bertentangan dengan Al Quran, jelas kitab antah berantah tersebut menyesatkan.

    di Al Quran jelas : وَأَن لَّيْسَ لِلْإِنسَانِ إِلَّا مَا سَعَىٰ
    [٥٣:٣٩] dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.

    Diusahakan dimana?? Ya tentu ketika dia hidup di dunia.

    Kirim pahala ke orang mati itu tidak dicontohkan Nabi Muhammad saw maupun para sahabat. Kalau ada tolong tunjukan dalilnya.
    Kalau mendo’akan ya boleh2 saja, mendo’akan dengan mengirim berkah pahala adalah sesuatu yang berbeda. tolong yang belum bisa membedakan hal tsb tidak tersinggung.

  11. Tradisi Tahlilan

    Tdk semua budaya itu lantas diharamkan, bhkan Rasulullah saw sendiri mengadopsi tradisi puasa Asyura yg sebelumnya dilakukan oleh org yahudi yg memperingati hari kemenangan Nabi Musa dg berpuasa.

    Syariat telah memberikan batasannya sbg dijelaskan oleh Sayyidina Ali bin Abi Thalib, saat ditanya ttg maksud kalimat “Bergaullah kpd masyarakat dg perilaku yg baik” maka beliau menjawa
    b : “Yg dimaksud perkara yg baik dlm hadits tsb adalah “Beradaptasilah dg masyarakat dlm segala hal selain maksiat” Tradisi/budaya yg diharamkan adalah yg menyalahi aqidah dan amaliah syari’at atau hukum islam.

    Tradisi Tahlilan selama 7 hr dg menghidangkan makanan, merupakan tradisi para sahabat Nabi Muhammad saw dan para Tabi’in.

    Imam Suyuthi rahimahullah dlm kitab Al Hawi Li al Fatawi -nya mengatakan : “Thowus berkata – sungguh org2 yg telah meninggal dunia difitnah dlm kuburan mereka selama 7 hr, mk mereka (sahabat Nabi saw) gemar (bersedekah) menghidangkan makanan sebagai ganti dr mereka yg telah meninggal dunia”

    dlm riwayat lain – dr Ubaid bin Umar – ia berkata “Dua org yakni seorg mukmin dan seorg munafik memperoleh fitnah kubur, adapun seorg mukmin mk ia difitnah selama 7 hr, sdgkan seorg munafik disiksa selama 40 hr.”

    Dlm menjelaskan dua Atsar tsb Imam Suyuthi mengatakan bhw dr sisi riwayat pr perawi atsar Thowus termasuk kategori perawi hadits2 shahih.
    Thowus yg wafat th 110 H, sendiri dikenal sbg salah seorg generasi pertama ulama negeri yaman dan pemuka pr Tabi’in yg sempat menjumpai 50 org sahabat Nabi saw.

    Menurut ulama Ushul dan hadits pr sahabat Nabi saw telah

    melakukannya dan dilihat serta diakui keabsahannya oleh Nabi saw sendiri.
    (Al Hawi) Li Al Fatawi – juz III hal 266-273 – Imam As Suyuthi).

  12. […] – Shahih Al-Bukhari, Imam Bukhari – Situs yang disebutkan diatas – Group FB BDTQNS – rona2001.wordpress.com – Dari berbagai sumber COPY PASTE FROM UJANG […]

  13. suadaraku kita kan tahu kalo masalah bidah ada hasanah ada dholalah…..!!??? itu dikarenakan tidak semua zamannya nabi sempat di adakan atau dilakukan,.. apalagi umur nabi kan hanya nyampe 62 tahun… bagaimana nabi akan melakukan sesuatu sebagaimana orang yang umurnya sampe 90 tahun…??, itu tuntutan fakta yang susah …, contoh sekolah formal ajah, dulu belum ada, terus dulu apa ada penghulu… dan masih banyak lagi.
    okkelah kalo begitu,……kalo masalah tahlilan anggap ajah paling tidak sepelit-pelitnya orang yang gak pernah makanannya dimakan orang waktu itu mau gak mau kudu ngasih makan walaupun terpaksa. hihihihihi…….
    ga papa sih debat….. asal jangan ngumpat….. kaya SD kelas empat…..
    tetep berpegangan pada “Allaahu robbi warobbukum walanaa a’maluna walakum a’malukum, ……..”
    ingat…. Nabi kita di utus untuk basyiron wanadiron loh…….

  14. السلام عليكم…..

    apa masalah yang telah kita

  15. Wahabiyah sing kopi paste dibuang wae lah mip, ngebak-ngebake komentar xexexe

  16. Miiii….p? Nt nandi? Puiye kabare? Ajaane adem ayem wae. Cah jayeng ngk

  17. @Aisyah Fitria alias Ponco
    saya ingin reply komentar sampean tapi sayang tidak ada hyperlink reply-nya… berikut ini tanggapan saya:

    sampean menulis:
    “BID’AH ITU AJARAN SYETAN
    Bid’ah adalah ; perkara yang baru yang diada-adakan didalam agama yang menyerupai syari’at baik berupa aqidah, ibadah,atau yang menyerupai ibadah, dilakukan dengan tujuan ibadah, yang menyalahi Qur’an dan sunnah yang tidak ada di zaman Rasulullah Saw dan para sahabat Ra .”

    pertanyaan saya:
    1. Menurut sampean, shalat tarawih ditambah ceramah agama bid’ah atau bukan, ya…? karena saudara2 kita yang mengatakan anti bid’ah melakukannya… padahal hal itu tidak pernah dicontohkan oleh Rasul saw dan para sahabat…

    2. telah sampean tulis dengan jelas “YANG MENYALAHI AL-QUR’AN DAN SUNNAH”… pertanyaan saya, “Apakah mendoakan orang yang sudah meninggal menyalahi SUNNAH…? Apa sampean tidak pernah mendoakan orang-orang Islam yang telah meninggal…? Apa sampean juga tak pernah shalat mayyit?”

    3. Mengapa sampean batasi “YANG TIDAK ADA DI ZAMAN RASULULLAH SAW DAN PARA SAHABAT RA…”? bukankah tabi’in dan tabi’ut tabi’in termasuk generasi terbaik…? dalil apa yang sampean gunakan sehingga menulis definisi bid’ah seperti itu…? TANPA DALIL JELAS, MAKA DEFINISI TSB. TERMASUK BID’AH DHALALAH…

    tolong sampean jawab… ini diskusi, bukan ribut… begitu dulu, saudaraku…

    salam,
    faisol

  18. semuga aman aman saja

  19. Assalamu’alaikum : Semua orang saling menyalahkan dan sombong karna merasa benar sendiri. apakah antum pernah jumpa rasul yang menyatakan golongan ini sesat, golongan ini bid’ah, golongan ini kafir? klo blum amalkan aja yang menjadi keyakinan antum sendiri. jangan menyalahkan golongan yang lain dan membencinya. merasa benar sendiri adalah sifat sombong, sifat sombong adalah perilaku iblis dan iblis tempatnya neraka. Hanya Allah SWT yang Maha Mengetahui, sesungguhnya kita berada pada genggaman-Nya, kapan saja kita bisa diputar balikkan-Nya. bertaubat dan memohon rahmat-Nya lebih baik dari pada saling menyalahkan. Imam besar yang 4 dahulunya saja berbeda pendapat tapi saling menghargai satu sama lain…astaghfirullah hal adzim…

  20. lanjut…

  21. lumayan seru….klo makruh, kenapa ndak kita tinggalkan juga?

  22. karena mereka tak menguasai ilmu nahwu/sharaf/ushul fiq/ kaedah2/ istilah hukum fiq, maka nya mereka menukil senak nya saja,jangan menukil secara harfiah saja….lngat!!…i’annah itu kitab hukum tentu saja tulisan nya bergaya hukum dan banyak sekali istilah hukum, maka perlu diteliti nahwu nya, sharaf nya..dll..jangan asal comot.

  23. Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) memutuskan bahwa selamatan kematian setelah hari wafat, hari ketiga, ketujuh dll adalah : MAKRUH, RATAPAN TERLARANG, BID’AH TERCELA (BID’AH MADZMUMAH), OCEHAN ORANG-ORANG BODOH.
    Berikut apa yang tertulis pada keputusan itu :

    MUKTAMAR I NAHDLATUL ULAMA (NU)
    KEPUTUSAN MASALAH DINIYYAH NO: 18 / 13 RABI’UTS TSAANI 1345 H / 21 OKTOBER 1926
    TENTANG
    KELUARGA MAYIT MENYEDIAKAN MAKAN KEPADA PENTAKZIAH

    TANYA :
    Bagaimana hukumnya keluarga mayat menyediakan makanan untuk hidangan kepada mereka yang datang berta’ziah pada hari wafatnya atau hari-hari berikutnya, dengan maksud bersedekah untuk mayat tersebut? Apakah keluarga memperoleh pahala sedekah tersebut?

    JAWAB :
    Menyediakan makanan pada hari wafat atau hari ketiga atau hari ketujuh itu hukumnya MAKRUH, apabila harus dengan cara berkumpul bersama-sama dan pada hari-hari tertentu, sedang hukum makruh tersebut tidak menghilangkan pahala itu.

    KETERANGAN :
    Dalam kitab I’anatut Thalibin Kitabul Janaiz:
    “MAKRUH hukumnya bagi keluarga mayit ikut duduk bersama orang-orang yang sengaja dihimpun untuk berta’ziyah dan membuatkan makanan bagi mereka, sesuai dengan hadits riwayat Ahmad dari Jarir bin Abdullah al Bajali yang berkata: ”kami menganggap berkumpul di (rumah keluarga) mayit dengan menyuguhi makanan pada mereka, setelah si mayit dikubur, itu sebagai bagian dari RATAPAN (YANG DILARANG).”

    Dalam kitab Al Fatawa Al Kubra disebutkan :
    “Beliau ditanya semoga Allah mengembalikan barokah-Nya kepada kita. Bagaimanakah tentang hewan yang disembelih dan dimasak kemudian dibawa di belakang mayit menuju kuburan untuk disedekahkan ke para penggali kubur saja, dan TENTANG YANG DILAKUKAN PADA HARI KETIGA KEMATIAN DALAM BENTUK PENYEDIAAN MAKANAN UNTUK PARA FAKIR DAN YANG LAIN, DAN DEMIKIAN HALNYA YANG DILAKUKAN PADA HARI KETUJUH, serta yang dilakukan pada genap sebulan dengan pemberian roti yang diedarkan ke rumah-rumah wanita yang menghadiri proses ta’ziyah jenazah.

    Mereka melakukan semua itu tujuannya hanya sekedar melaksanakan kebiasaan penduduk setempat sehingga bagi yang tidak mau melakukannya akan dibenci oleh mereka dan ia akan merasa diacuhkan. Kalau mereka melaksanakan adat tersebut dan bersedekah tidak bertujuaan (pahala) akhirat, maka bagaimana hukumnya, boleh atau tidak?

    Apakah harta yang telah ditasarufkan, atas keingnan ahli waris itu masih ikut dibagi/dihitung dalam pembagian tirkah/harta warisan, walau sebagian ahli waris yang lain tidak senang pentasarufan sebagaian tirkah bertujuan sebagai sedekah bagi si mayit selama satu bulan berjalan dari kematiannya. Sebab, tradisi demikian, menurut anggapan masyarakat harus dilaksanakan seperti “wajib”, bagaimana hukumnya.”

    Beliau menjawab bahwa semua yang dilakukan sebagaimana yang ditanyakan di atas termasuk BID’AH YANG TERCELA tetapi tidak sampai haram (alias makruh), kecuali (bisa haram) jika prosesi penghormatan pada mayit di rumah ahli warisnya itu bertujuan untuk “meratapi” atau memuji secara berlebihan (rastsa’).

    Dalam melakukan prosesi tersebut, ia harus bertujuan untuk menangkal “OCEHAN” ORANG-ORANG BODOH (yaitu orang-orang yang punya adat kebiasaan menyediakan makanan pada hari wafat atau hari ketiga atau hari ketujuh, dst-penj.), agar mereka tidak menodai kehormatan dirinya, gara-gara ia tidak mau melakukan prosesi penghormatan di atas. Dengan sikap demikian, diharapkan ia mendapatkan pahala setara dengan realisasi perintah Nabi  terhadap seseorang yang batal (karena hadast) shalatnya untuk menutup hidungnya dengan tangan (seakan-akan hidungnya keluar darah). Ini demi untuk menjaga kehormatan dirinya, jika ia berbuat di luar kebiasaan masyarakat.

    Tirkah tidak boleh diambil / dikurangi seperti kasus di atas. Sebab tirkah yang belum dibagikan mutlak harus disterilkan jika terdapat ahli waris yang majrur ilahi. Walaupun ahli warisnya sudah pandai-pandai, tetapi sebagian dari mereka tidak rela (jika tirkah itu digunakan sebelum dibagi kepada ahli waris).

    SELESAI , KEPUTUSAN MASALAH DINIYYAH NO: 18 / 13 RABI’UTS TSAANI 1345 H / 21 OKTOBER 1926

    REFERENSI :

     Lihat : Ahkamul Fuqaha, Solusi Problematika Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas, dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2004 M), halaman 15-17), Pengantar: Rais ‘Am PBNU, DR.KH.MA Sahal Mahfudh, Penerbit Lajnah Ta’lif wan Nasyr (LTN) NU Jawa Timur dan Khalista, cet.III, Pebruari 2007.
     Masalah Keagamaan Jilid 1 – Hasil Muktamar dan Munas Ulama Nahdlatul Ulama Kesatu/1926 s/d/ Ketigapuluh/2000, KH. A.Aziz Masyhuri, Penerbit PPRMI dan Qultum Media.

    • saudaraku Al Fadhli yang baik,

      sampean kurang jujur dalam menukil keputusan hasil muktamar tahun 1926 (INGAT, TAHUN 1926. Sampean belum lahir, kan…?)

      1. Di permasalahan berikutnya ditanyakan tentang sampaikah pahala sedekah untuk mayyit? Jawab: SAMPAI.
      –> harusnya item ini juga sampean pahami, jangan dipotong sekenanya…

      kelihatannya sampean tidak punya buku “Ahkamul Fuqaha”, hanya copy & paste sehingga tidak memahami permasalahan secara utuh…

      2. Tentang permasalahan yang sampean ajukan, di situ tertera dengan jelas “BERKUMPUL”, bukan “BACA YASIN/TAHLIL”. Bila pertanyaannya “Bagaimana hukum membaca yasin dan tahlil untuk mendoakan mayyit?” tentu jawabannya berbeda.

      Orang NU itu, saudaraku, kalau bertanya jelas, to the point, tidak mbulet. Jadi, yang ditanyakan adalah berkumpul saja, bukan mendoakan mayyit. Yang kami lakukan adalah mendoakan mayyit (baca yasin dan tahlil), bukan cuma berkumpul.

      Mungkin sampean akan membantah, “Berkumpul itu bersifat umum, jadi membaca yasih dan tahlil termasuk dalam kategori berkumpul yang dilarang berdasarkan muktamar tersebut.”

      Bantahan ini jelas lemah sekali karena amat berbeda antara BERKUMPUL dan MEMBACA YASIN-TAHLIL. Sebagaimana saya jelaskan, di NU itu pertanyaan harus jelas. Jadi, pertanyaan berbeda hasil berbeda.

      Tapi baiklah, demi memuaskan akal sampean, mari kita kaji secara menyeluruh, bukan sepotong-sepotong seperti kebiasaan sebagian saudara-saudara salafi, agar sampean tidak ngawur dalam memvonis.

      Saya dan sampean BELUM LAHIR di tahun 1926, jadi kita asumsikan saja sama-sama tidak tahu secara pasti maksud “berkumpul” pada muktamar I tersebut.

      saudaraku,
      orang NU itu ta’zhim (hormat sekali) kepada para guru/kyai. Bila yang dimaksud di pertanyaan muktamar adalah “MEMBACA YASIN & TAHLIL” tentu para kyai yang hidup saat ini akan menyampaikan kepada para santrinya. Ketika para santri ini menjadi kyai, juga akan meneruskan kepada para santrinya, begitu seterusnya.

      Bila memang benar keputusan muktamar itu menyangkut MEMBACA YASIN-TAHLIL seperti yang dilakukan orang-orang NU, tentu para kyai telah dapat pesan dari kyai-kyainya dulu, dan pastilah sekarang dilarang membaca yasin-tahlil ketika ada warga meninggal.

      buktinya tidak tuh… kita tidak dilarang membaca yasin-tahlil ketika ada warga meninggal. INI BUKTI ILMIAH, bahwa yang dimaksud oleh muktamar I tsb. bukanlah seperti amalan orang NU yang sampean saksikan.

      sampean kan bukan orang NU, maka untuk memahami keputusan Muktamar, harus melakukan penelitian ilmiah, bukan asal comot lalu mengeluarkan fatwa.

      Tolonglah juga sampean belajar ushul fiqh dan qawa’id fiqh biar tidak bernafsu dalam mengeluarkan fatwa.

      Satu lagi, saat ini masih ada murid langsung KH. Hasyim Asy’ari, pendiri NU. Beliau adalah KH. Muchit Muzadi (kakak kandung KH. Hasyim Muzadi).

      KH Muchit Muzadi termasuk sesepuh NU saat ini, berada di Jember. Beliau tentu jauh lebih paham maksud hasil muktamar I, karena beliau sangat senior. Tidak ada larangan dari masyahikh NU tentang MEMBACA YASIN-TAHLIL saat ada warga meninggal.

      Kalau sampean men-dalil menggunakan hasil muktamar I, sungguh jauh panggang dari api. Sampean belum lahir saat itu (1926), sampean pun tidak melakukan penelitian ilmiah tentang kebiasaan orang NU dalam bertanya, berdiskusi dll…

      begitu dulu, saudaraku…
      semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin…

      salam,
      achmad faisol
      http://achmadfaisol.blogspot.com

      • Dah ga usah ribut!!!!! malu dilihat orang kafiir, kan kita semua orang ISLAM bersaudara>>>> Lakum amalukum, lana amaluna, lebih baik kita simak hadits berikut :
        أَخْبَرَنَا عُتْبَةُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ أَنْبَأَنَا ابْنُ الْمُبَارَكِ عَنْ سُفْيَانَ عَنْ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ فِي خُطْبَتِهِ يَحْمَدُ اللَّهَ وَيُثْنِي عَلَيْهِ بِمَا هُوَ أَهْلُهُ ثُمَّ يَقُولُ مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهُ إِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَأَحْسَنَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ وَكُلُّ ضَلَالَةٍ فِي النَّارِ ثُمَّ يَقُولُ بُعِثْتُ أَنَا وَالسَّاعَةُ كَهَاتَيْنِ وَكَانَ إِذَا ذَكَرَ السَّاعَةَ احْمَرَّتْ وَجْنَتَاهُ وَعَلَا صَوْتُهُ وَاشْتَدَّ غَضَبُهُ كَأَنَّهُ نَذِيرُ جَيْشٍ يَقُولُ صَبَّحَكُمْ مَسَّاكُمْ ثُمَّ قَالَ مَنْ تَرَكَ مَالًا فَلِأَهْلِهِ وَمَنْ تَرَكَ دَيْنًا أَوْ ضَيَاعًا فَإِلَيَّ أَوْ عَلَيَّ وَأَنَا أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ

        Telah mengabarkan kepada kami ‘Utbah bin ‘Abdullah dia berkata; telah memberitakan kepada kami Ibnul Mubarak dari Sufyan dari Ja’far bin Muhammad dari bapaknya dari Jabir bin ‘Abdullah dia berkata; “Apabila Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam berkhutbah, maka beliau memuji dan menyanjung Allah dengan hal-hal yang menjadi hak-Nya, kemudian bersabda: ‘Barangsiapa telah diberi petunjuk oleh Allah, maka tidak ada yang bisa menyesatkannya. Barangsiapa telah disesatkan oleh Allah, maka tidak ada yang bisa memberikan petunjuk kepadanya. Sebenar-benar perkataan adalah kitabullah (Al Qur’an), sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, dan sejelek jelek perkara adalah hal-hal yang baru, setiap hal yang baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap kesesatan di dalam neraka’. Kemudian beliau bersabda lagi, ‘Ketika aku diutus, jarak antara aku dan hari Kiamat seperti jarak dua jari ini’. Bila beliau menyebutkan hari Kiamat maka kedua pipinya memerah, suaranya meninggi, dan amarahnya bertambah, seolah-olah beliau memperingatkan pasukan. Beliau bersabda: ‘Hati-hati pada pagi kalian dan sorenya’. Barangsiapa meninggalkan harta, maka itu buat keluarganya dan barangsiapa meninggalkan utang atau sesuatu yang hilang maka itu tanggunganku. Aku adalah wali bagi orang-orang yang beriman ‘.”

        HR Nasa’i

        BID’AH ITU AJARAN SYETAN
        Bid’ah adalah ; perkara yang baru yang diada-adakan didalam agama yang menyerupai syari’at baik berupa aqidah, ibadah,atau yang menyerupai ibadah, dilakukan dengan tujuan ibadah, yang menyalahi Qur’an dan sunnah yang tidak ada di zaman Rasulullah Saw dan para sahabat Ra .
        Lihat : As Sunanu wal Mubtada’at 15, Tafsir haqii 13:494, Al Inshaf fi maqila fil mawadi 1:26, Mahabbah ar Rasul baina al Atba’ 1:281, 318, Al I’thisham 2:119, At Ta’rifat 1:13, Aunul Ma’bud 1:132.

        Demi Allah, Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami kepada umat-umat sebelum kamu, tetapi syaitan menjadikan umat-umat itu memandang baik perbuatan mereka (yang buruk), Maka syaitan menjadi pemimpin mereka di hari itu dan bagi mereka azab yang sangat pedih.Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al Quran) ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. QS An Nahl : 63-64

        أَخْبَرَنَا عُتْبَةُ بْنُ عَبْدِ اللهِ قَالَ أَنْبَأَنَا ابْنُ الْمُبَارَكِ عَنْ سُفْيَانَ عَنْ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللهِ  يَقُولُ فِي خُطْبَتِهِ يَحْمَدُ اللهَ وَيُثْنِي عَلَيْهِ بِمَا هُوَ أَهْلُهُ ثُمَّ يَقُولُ مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهُ إِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللهِ وَأَحْسَنَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ وَكُلُّ ضَلَالَةٍ فِي النَّارِ
        Dari Jabir bin Abdullah Ra ia berkata; Rasulullah Saw bersabda dalam khutbahnya beliau memuji Allah dan menyanjungNya kemudian mengatakan “ barangsiapa yang Allah beri petunjuk maka tidak ada yang bisa menyesatkannya dan barangsiapa yang Allah menyesatkannya maka tidak ada yang bisa memberi petunjuk, Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Saw dan sejelek-jelek perkara, adalah perkara yang diada-adakan.dan Setiap perkara yang diada-adakan itu adalah Bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap kesesatan didalam Neraka.
        HR An Nasa’i 6:27 No 1560, Bukhari 22:246 No 6735, Muslim 4:359 No 1435 Ibnu Katsir 2:416

        حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ الْبَزَّارِ، حَدَّثَنَا مُحْرِزُ بْنُ عَوْنٍ ، حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ مَطَرٍ الشَّيْبَانِيُّ عَنْ عَبْدِ الْغَفُورِ ، عَنْ أَبِي بَصِيرٍ ، عَنْ أَبِي رَجَاءٍ الْعُطَارِدِيِّ ، عَنْ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ  أن رَسُولَ اللهِ  قَالَ عَلَيْكُمْ بِلا إِلَهَ إِلاَّ الله ُ وَالاسْتِغْفَارِ فَأَكْثِرُوا مِنْهُمَا فَإِنَّ إِبْلِيسَ قَالَ أَهْلَكْتُهُمْ بِالذُّنُوبِ وَأَهْلَكُونِي بِالاسْتِغْفَارِ فَلَمَّا رَأَيْتُ ذَلِكَ مِنْهُمْ أَهْلَكْتُهُمْ بِالأَهْوَاءِ فَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ مُهْتَدُونَ فَلا يَسْتَغْفِرُونَ
        Dari Abu Bakar Ash Shidiq Ra, Sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda : hendaklah kalian (perbaharui Iman) dengan Laaillaha ilallah dan Istighfar, perbanyaklah kedua kalimat itu, karena sesungguhnya iblis berkata ; aku binasakan mereka (mereka) dengan perbuatan dosa mereka, tetapi mereka membinasakan aku dengan istighfar ( bertaubat) ketika aku mengetahui mereka demikian maka aku binasakan mereka dengan hawa nafsu (bid’ah) lalu mereka menyangka sedang mendapat petunjuk maka mereka tidak minta ampun (tidak bertobat) Ibnu Abi Ashim 1:9

        حَدَّثَنِي أَبُو غَسَّانَ الْمِسْمَعِيُّ وَمُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى وَمُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارِ بْنِ عُثْمَانَ وَاللَّفْظُ لِأَبِي غَسَّانَ وَابْنِ الْمُثَنَّى قَالَا حَدَّثَنَا مُعَاذُ بْنُ هِشَامٍ حَدَّثَنِي أَبِي عَنْ قَتَادَةَ عَنْ مُطَرِّفِ بْنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ الشِّخِّيرِ عَنْ عِيَاضِ بْنِ حِمَارٍ الْمُجَاشِعِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللهِ  قَالَ ذَاتَ يَوْمٍ فِي خُطْبَتِهِ أَلَا إِنَّ رَبِّي أَمَرَنِي أَنْ أُعَلِّمَكُمْ مَا جَهِلْتُمْ مِمَّا عَلَّمَنِي يَوْمِي هَذَا كُلُّ مَالٍ نَحَلْتُهُ عَبْدًا حَلَالٌ وَإِنِّي خَلَقْتُ عِبَادِي حُنَفَاءَ كُلَّهُمْ وَإِنَّهُمْ أَتَتْهُمْ الشَّيَاطِينُ فَاجْتَالَتْهُمْ عَنْ دِينِهِمْ وَحَرَّمَتْ عَلَيْهِمْ مَا أَحْلَلْتُ لَهُمْ
        Sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda pada suatu hari dalam khutbahnya ingatlah sesunggunya Tuhanku menyuruhku untuk mengajar kalian apa yang kalian tidak ketahui dengan apa saja yang Allah telah mengajarkan kepadaku pada hariku ini, semua harta yang Aku berikan kepada seorang hamba adalah halal, dan sesungguhnya Aku ciptakan hamba-hambaku dalam keadaan hanif (lurus/suci) semuanya,dan sesungguhnya syetan datang kepada mereka lalu merubah agamanya dan mengharamkan apa yang Aku halalkan untuk mereka. HR Muslim 14:24 No 5109

        Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih. QS An Nur 63

        Apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya. QS Al Hasyr 7

        Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya Maka sungguhlah Dia telah sesat, sesat yang nyata. QS Al Ahzab 36

        Katakanlah: “Taat kepada Allah dan taatlah kepada rasul; dan jika kamu berpaling Maka Sesungguhnya kewajiban Rasul itu adalah apa yang dibebankan kepadanya, dan kewajiban kamu sekalian adalah semata-mata apa yang dibebankan kepadamu. dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk. dan tidak lain kewajiban Rasul itu melainkan menyampaikan (amanat Allah) dengan terang”. QS An Nur 54

        Dan Barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan. QS An Nisa’ 14

        قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ : تُبَيِّضُ وُجُوْهُ اَهْلِ السُّنَّةِ وَتَسْوَدُّ وُجُوْهُ اَهْلِ الْبِدْعَةِ.
        Ibnu Abbas Ra berkata : Wajah-wajah Ahli sunnah putih bersih dan wajah-wajah ahli bid’ah hitam
        Muqadimah, As Sunanu wal Mubtada’at lembaran :2

        حَدَّثَناَ علي بن عبد الله الفرغاني قال : نا هارون بن موسى الفروي قال : نا أبو ضمرة أنس بن عياض ، عن حميد الطويل ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ : « إِنَّ اللهَ حَجَبَ التَّوْبَةَ عَنْ صَاحِبِ كُلِّ بِدْعَةٍ »
        Rasulullah Saw berrsabda : Sesungguhnya Allah menutup taubat bagi pelaku semua bid’ah. HR Thabrani 9:405 No 4353

        حَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ مَنْصُورٍ الْحَنَّاطُ عَنْ أَبِي زَيْدٍ عَنْ أَبِي الْمُغِيرَةِ عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ  أَبَى اللهُ أَنْ يَقْبَلَ عَمَلَ صَاحِبِ بِدْعَةٍ حَتَّى يَدَعَ بِدْعَتَهُ
        Rasulullah Saw bersabda : Allah enggan untuk menerima amal dari pelaku bid’ah sehingga ia meninggalkan bid’ahnya.
        HR Ibnu Majjah 1:47 No 59

        حَدَّثَنَا دَاوُدُ بْنُ سُلَيْمَانَ الْعَسْكَرِيُّ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَلِيٍّ أَبُو هَاشِمِ بْنِ أَبِي خِدَاشٍ الْمَوْصِلِيُّ قَالَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مِحْصَنٍ عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ أَبِي عَبْلَةَ عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ الدَّيْلَمِيِّ عَنْ حُذَيْفَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ  لَا يَقْبَلُ اللهُ لِصَاحِبِ بِدْعَةٍ صَوْمًا وَلَا صَلَاةً وَلَا صَدَقَةً وَلَا حَجًّا وَلَا عُمْرَةً وَلَا جِهَادًا
        Rasulullah Saw bersabda : Allah tidak akan menerima; shaum, shalat, shadaqah, haji, umrah, dan jihad dari ahli bid’ah
        HR Ibnu Majjah 1:56 No 48

        حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ أَبِي مَرْيَمَ عَنْ نَافِعِ بْنِ عُمَرَ قَالَ حَدَّثَنِي ابْنُ أَبِي مُلَيْكَةَ عَنْ أَسْمَاءَ بِنْتِ أَبِي بَكْرٍ  قَالَتْ قَالَ النَّبِيُّ  إِنِّي عَلَى الْحَوْضِ حَتَّى أَنْظُرَ مَنْ يَرِدُ عَلَيَّ مِنْكُمْ وَسَيُؤْخَذُ نَاسٌ دُونِي فَأَقُولُ يَا رَبِّ مِنِّي وَمِنْ أُمَّتِي فَيُقَالُ هَلْ شَعَرْتَ مَا عَمِلُوا بَعْدَكَ وَاللهِ مَا بَرِحُوا يَرْجِعُونَ عَلَى أَعْقَابِهِمْ.
        Dari Asma’ binti Abu Bakar Ra, ia berkata; Nabi Saw bersabda, “sesungguhnya aku diatas telaga, sehingga aku melihat orang-orang diantara kalian datang kepadaku, dan seluruh manusia dijadikan gemetar selain aku, maka aku akan berkata, “Ya Rabbku , mereka dariku, dan dari ummatku” lalu dikatakan (oleh Allah)“Apakah kamu mengetahui apa yang telah mereka perbuat sepeninggalmu? Demi Allah, mereka senantiasa telah berbalik ke belakang .
        Shahih Bukhari 8/121 No. 6593, Shahih Muslim 4/1794 No. 2293

        sekian. wallahu ‘a’lam.
        wassalam
        by : Ponco, Pemuda Persatuan Islam Cirebon

  24. g sah salng nyalhkan ni/tu.kalian g berhak…!!!
    yg berhak cm yg diAtas……
    amalin aja pa yg kalian yakini.

    • bukan saling menyalahin, tapi buat jadi bahan renungan bagi orang2 yang suka mengatakan kepada seseorang itu bid’ah, bid’ah, bid’ah…. jagalah lidah, sesungguhnya itu lebih menyakitkan dari pada pisau..!
      kayak orang kafir aja amalan harus masing2…

    • hdeuh….
      ente lgi gali kubur/sumur sih…. 😆
      mang yang diatas siapa.
      blajar yang bner,jngan cuma gali lobang doang,gtu jadinya percayanya cuma sama yg diatas…
      dasar wababi…
      iq jongkok.😆

  25. oh, begitu to…??

  26. betul apanya om. yg jelas dong klo komen, biar yg awam gak kesasar

  27. Menurut Fahmi Basya, dan seperti yang penulis lihat melalui relief-relief yang ada, memang terdapat beberapa simbol, yang mengesankan dan identik dengan kisah Sulaiman dan Ratu Saba, sebagaimana keterangan Alquran. Pertama adalah tentang tabut, yaitu sebuah kotak atau peti yang berisi warisan Nabi Daud AS kepada Sulaiman. Konon, di dalamnya terdapat kitab Zabur, Taurat, dan Tingkat Musa, serta memberikan ketenangan. Pada relief yang terdapat di Borobudur, tampak peti atau tabut itu dijaga oleh seseorang.

    “Dan Nabi mereka mengatakan kepada mereka: ‘Sesungguhnya tanda ia akan menjadi raja, ialah kembalinya tabut kepadamu, di dalamnya terdapat ketenangan dari Tuhanmu dan sisa dari peninggalan keluarga Musa dan keluarga Harun; tabut itu dibawa malaikat. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda bagimu, jika kamu orang yang beriman’.” (QS Al-Baqarah [2]: 248).

    Kedua, pekerjaan jin yang tidak selesai ketika mengetahui Sulaiman telah wafat. (QS Saba [34]: 14). Saat mengetahui Sulaiman wafat, para jin pun menghentikan pekerjaannya. Di Borobudur, terdapat patung yang belum tuntas diselesaikan. Patung itu disebut dengan Unfinished Solomon.

    Ketiga, para jin diperintahkan membangun gedung yang tinggi dan membuat patung-patung. (QS Saba [34]: 13). Seperti diketahui, banyak patung Buddha yang ada di Borobudur. Sedangkan gedung atau bangunan yang tinggi itu adalah Candi Prambanan.

    Keempat, Sulaiman berbicara dengan burung-burung dan hewan-hewan. (QS An-Naml [27]: 20-22). Reliefnya juga ada. Bahkan, sejumlah frame relief Borobudur bermotifkan bunga dan burung. Terdapat pula sejumlah relief hewan lain, seperti gajah, kuda, babi, anjing, monyet, dan lainnya.

    Kelima, kisah Ratu Saba dan rakyatnya yang menyembah matahari dan bersujud kepada sesama manusia. (QS An-Naml [27]: 22). Menurut Fahmi Basya, Saba artinya berkumpul atau tempat berkumpul. Ungkapan burung Hud-hud tentang Saba, karena burung tidak mengetahui nama daerah itu. “Jangankan burung, manusia saja ketika berada di atas pesawat, tidak akan tahu nama sebuah kota atau negeri,” katanya menjelaskan. Ditambahkan Fahmi Basya, tempat berkumpulnya manusia itu adalah di Candi Ratu Boko yang terletak sekitar 36 kilometer dari Borobudur. Jarak ini juga memungkinkan burung menempuh perjalanan dalam sekali terbang.

    Keenam, Saba ada di Indonesia, yakni Wonosobo. Dalam Alquran, wilayah Saba ditumbuhi pohon yang sangat banyak. (QS Saba [34]: 15). Dalam kamus bahasa Jawi Kuno, yang disusun oleh Dr Maharsi, kata ‘Wana’ bermakna hutan. Jadi, menurut Fahmi, wana saba atau Wonosobo adalah hutan Saba.

    Ketujuh, buah ‘maja’ yang pahit. Ketika banjir besar (Sail al-Arim) menimpa wilayah Saba, pepohonan yang ada di sekitarnya menjadi pahit sebagai azab Allah kepada orang-orang yang mendustakan ayat-ayat-Nya. “Tetapi, mereka berpaling maka Kami datangkan kepada mereka banjir yang besar[1236] dan Kami ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon Atsl dan sedikit dari pohon Sidr.” (QS Saba [34]: 16).

    Kedelapan, nama Sulaiman menunjukkan sebagai nama orang Jawa. Awalan kata ‘su’merupakan nama-nama Jawa. Dan, Sulaiman adalah satu-satunya nabi dan rasul yang 25 orang, yang namanya berawalan ‘Su’. Kesembilan, Sulaiman berkirim surat kepada Ratu Saba melalui burung Hud-hud. “Pergilah kamu dengan membawa suratku ini.” (QS An-Naml [27]: 28). Menurut Fahmi, surat itu ditulis di atas pelat emas sebagai bentuk kekayaan Nabi Sulaiman. Ditambahkannya, surat itu ditemukan di sebuah kolam di Candi Ratu Boko.

    Kesepuluh, bangunan yang tinggal sedikit (Sidrin qalil). Lihat surah Saba [34] 16). Bangunan yang tinggal sedikit itu adalah wilayah Candi Ratu Boko. Dan di sana terdapat sejumlah stupa yang tinggal sedikit. “Ini membuktikan bahwa Istana Ratu Boko adalah istana Ratu Saba yang dipindahkan atas perintah Sulaiman,” kata Fahmi menegaskan.

    Selain bukti-bukti di atas, kata Fahmi, masih banyak lagi bukti lainnya yang menunjukkan bahwa kisah Ratu Saba dan Sulaiman terjadi di Indonesia. Seperti terjadinya angin Muson yang bertiup dari Asia dan Australia (QS Saba [34]: 12), kisah istana yang hilang atau dipindahkan, dialog Ratu Bilqis dengan para pembesarnya ketika menerima surat Sulaiman (QS An-Naml [27]: 32), nama Kabupaten Sleman, Kecamatan Salaman, Desa Salam, dan lainnya. Dengan bukti-bukti di atas, Fahmi Basya meyakini bahwa Borobudur merupakan peninggalan Sulaiman. Bagaimana dengan pembaca? Hanya Allah yang mengetahuinya. Wallahu A’lam. 

    • itu tandanya anda tidak belajar dengan benar, maka nya jangan mentafsirkan Al Qur’an dengan HAWA NAFSU. satu BUKTI yang anda LUPA, dialog antara Sulaiman dan Ratu Saba’ menggunakan bahasa ARAB dan kalimat surat dari Sulaiman bertuliskan Bahasa ARAB. sejak kapan wonosobo berbahasa ARAB????????

  28. Agar bener-bener faham persoalan ini, silahkan mendatangi Ahli waris Kitab I’anatut tholibin langsung. di indonesia ada ahli warisnya. beliau adalah Habib Novel bin Ahmad bin Abu Bakar bin Muhammad bin Abi Bakri Syatha d/a Kampung: Mendut Desa: Magelung Kecamatan: Kaliwungu selatan Kabupaten: Kendal Provinsi: Jawa tengah

  29. Mungkin untuk niatnya berjiwa sosial bisa aja sih toleransi, tapi kalo udah masuk wilayah hukum sunnah nabi. ada gak contohnya perayaan 40 harian ke’, atau 70 puluh kiloan ke’ baik dari nabi ataupun sahabatnya……..tapi gak aneh sih bagi para ahli bid’ah emang gitu dakwahnya. bukan mengamalkan dalil melainkan mendalili amal……gak usah berhenti dakwah memadamkan bid’ah dlm agama, kok pada akhirnya entar juga mereka paham, dan gak usah khawatir. walaupun kita diam masih banyak ko para pecinta dan penegak Sunnah Nabi. Kalo soal tulisan tersebut yah wajarlah itukan pembelaan bagi pecinta Bid’ah dlm agama……

    • saudaraku M. Hilmi.S.Sos.I yang baik,

      saya pernah bertanya kepada beberapa saudara salafi,
      “Apa hukumnya menambahi shalat tarawih dengan ceramah agama?”

      setahu saya, saudara-saudara salafi kalau tarawih ada ceramah agama. tuntunan siapa itu…?

      anehnya, jawabannya begini, “kalau tidak dihukumi wajib, ya tidak apa-apa…”

      jawaban saya sederhana, “tahlil tidak dihukumi wajib oleh ulama-ulama NU, berarti boleh dong…?”

      ini bukti saudara-saudara salafi melakukan bid’ah tapi mendalili amal yang tidak pernah dicontohkan Rasul saw dan generasi salaf…

      saya juga pernah bertanya di sebuah web kepada seorang ustadz salafi ttg hukum ceramah agama saat tarawih… waktu itu beliau menjawab, “bid’ah”

      anehnya, sebulan kemudian, posting pertanyaan saya berikut jawaban beliau dihapus… entah mengapa….!

      begitu dulu, saudaraku…
      semoga Allah menyatukan & melembutkan hati semua umat Islam, amin…

      salam,
      achmad faisol
      http://achmadfaisol.blogspot.com

  30. kalau ngak ada tahlilan gak dapat duit, makanan buat anak bini. …………. padahal cumat itu keahlian gue jual doa bayar semakin banyak yang mati semakin besar berkat semakin tebal amplop. yang punya rumah kerepotan peduli amat yang penting berkaaat, duiiiii…tt.

    • Mas mas punya jempol mbok ya di Jaga, nt tau gak pendanaan wahabi dari mana? Kalo masih kroco jangan bicara sembarangan.!
      Tau majlis takrim?
      Tau haul utsaimin?
      Tau musium utsaimin?
      Tau kultum?
      Tau jamaah tahajud?
      Tau bid’ah dun-yawiyah?
      Apakah semua diatas dilakukan zaman nabi? Ada pd zaman nabi? Kalian hancurkan rumah nabi, makam baqi , ingin meratakan qubur nabi, tapi kuburan kroni raja fahd berdiri dengan megahnya, quburan imam yg mereka puja di tetapkan, tinggi mana mereka dgn rosul dan sahabatnya? Mikir mikir mikir, jo atos atimu, jo ngeyel. Ngaji ngaji ngaji. Nabi saja melarang mengatakan munafik pd sahabat yg mengucapkan kalimah thoyyibah, padahal mashur membenci nabi. jo garai ruwet, balik-o nang arab kono! Ngruwet ngruweti ndunyo wae..!

  31. saudaraku, kalau saya perhatikan dari tulisan anda, anda memang hendak mencari-cari pembelaan atau pembenaran terhadap ma’tam atau tahlilan yang memang hal semacam itu tidak ada tuntunannya dari Rosulullah.

    • jangan baca tulisannya bos, tapi baca kitabnya biar jelas,,,
      tidak pernah rasul mengatakan kepada seseoarang itu bid’ah, yang ada kafir!

      • Kata siapa, Rasul tidak pernah mengatakan bid’ah :
        coba lihat…..
        أَخْبَرَنَا عُتْبَةُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ أَنْبَأَنَا ابْنُ الْمُبَارَكِ عَنْ سُفْيَانَ عَنْ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ فِي خُطْبَتِهِ يَحْمَدُ اللَّهَ وَيُثْنِي عَلَيْهِ بِمَا هُوَ أَهْلُهُ ثُمَّ يَقُولُ مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهُ إِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَأَحْسَنَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ وَكُلُّ ضَلَالَةٍ فِي النَّارِ ثُمَّ يَقُولُ بُعِثْتُ أَنَا وَالسَّاعَةُ كَهَاتَيْنِ وَكَانَ إِذَا ذَكَرَ السَّاعَةَ احْمَرَّتْ وَجْنَتَاهُ وَعَلَا صَوْتُهُ وَاشْتَدَّ غَضَبُهُ كَأَنَّهُ نَذِيرُ جَيْشٍ يَقُولُ صَبَّحَكُمْ مَسَّاكُمْ ثُمَّ قَالَ مَنْ تَرَكَ مَالًا فَلِأَهْلِهِ وَمَنْ تَرَكَ دَيْنًا أَوْ ضَيَاعًا فَإِلَيَّ أَوْ عَلَيَّ وَأَنَا أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ

        Telah mengabarkan kepada kami ‘Utbah bin ‘Abdullah dia berkata; telah memberitakan kepada kami Ibnul Mubarak dari Sufyan dari Ja’far bin Muhammad dari bapaknya dari Jabir bin ‘Abdullah dia berkata; “Apabila Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam berkhutbah, maka beliau memuji dan menyanjung Allah dengan hal-hal yang menjadi hak-Nya, kemudian bersabda: ‘Barangsiapa telah diberi petunjuk oleh Allah, maka tidak ada yang bisa menyesatkannya. Barangsiapa telah disesatkan oleh Allah, maka tidak ada yang bisa memberikan petunjuk kepadanya. Sebenar-benar perkataan adalah kitabullah (Al Qur’an), sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, dan sejelek jelek perkara adalah hal-hal yang baru, setiap hal yang baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap kesesatan di dalam neraka’. Kemudian beliau bersabda lagi, ‘Ketika aku diutus, jarak antara aku dan hari Kiamat seperti jarak dua jari ini’. Bila beliau menyebutkan hari Kiamat maka kedua pipinya memerah, suaranya meninggi, dan amarahnya bertambah, seolah-olah beliau memperingatkan pasukan. Beliau bersabda: ‘Hati-hati pada pagi kalian dan sorenya’. Barangsiapa meninggalkan harta, maka itu buat keluarganya dan barangsiapa meninggalkan utang atau sesuatu yang hilang maka itu tanggunganku. Aku adalah wali bagi orang-orang yang beriman ‘.”

        HR Nasa’i

  32. hmm…g habis2, mati dlm khilafiah, bosan…

  33. Rasulallah saw. sendiri setelah mengubur mayit pernah diundang makan oleh keluarga si mayyit dan beliau memakannya.
    Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu dawud dan Baihaqi dari Ashim bin Kulaib dari ayah seorang sahabat Anshar, berkata:
    “Kami telah keluar menyertai Rasulallah saw. mengiringi jenazah, maka kulihat Rasulallah saw. berpesan kepada penggali kubur, kata beliau saw., ‘ perluaslah arah kedua kakinya, perluaslah arah kepalanya. Ketika beliau pulang ditemuilah orang yang mengundang dari pihak istrinya (istri mayyit), beliaupun memenuhi undangan itu dan kami menyertainya lalu dihidangkan makanan, maka beliau mengulurkan tangannya, kemudian hadirin mengulurkan tangan mereka, lalu mereka makan, dan aku melihat Rasulallah saw. mengunyah suapan di mulutnya”alhadis..

    • coba anda periksa kembali hadits tersebut. setau saya yang dimaksud “istri” itu bukan istri si mayit. tapi istri seseorang atau si fulan yang tidak disebutkan namanya..
      anda jangn mencari “pembenaran” dari hal2 yng jelas2 tidak ada tuntunannya. yang seharusnya kita cari adalah kebenaran sejati, yang lurus, dan ada contonya dari rosulullah..

    • sy pernah kehilangan ayah (meninggal) rasanya terpukul sekali kehilangan org yg kita cintai,ttp dg suasana org banyak yg dtng tanpa di undang dr saudara,keluarga,tetangga kerabat yg dtng sungguh memberikan hiburan hati yg lara mrk menghiubur unk mengikhlaskan kepergiannya krn dg keikhlasannya berarti ridlo dg ketentuan Allah dan Allah akn ridlo…..mrk datang dg membawa makanan (kami tdk akn mampu menyiapkan hidangan krn suasana hati yg berat,malah mrk mengingatkan kami sekeluarga unk makan…entah bgmn bila tdk ada kehadiran mrk)dan membantu menyiapkan hidangan sekedar berbeda hidangan saat pesta krn sifat manusia tdk luput dr kejenuhan makanya ada hidangan sekedar,krn mrk brkumpul drpd bicara ga karuan lbh baik diisi dg membaca alquran,dzik dan kalimat toyibah,aku bersyukur memiliki org2 yg msh hidup yg peduli dg keadaanku saat itu krn hr2 pertama kehilangan (hr 1.2.3-7)adalah saat2 yg paling sulit bagi org yg baru kehilangan,setelah lepas bbrp hr aku berziarah ke makam ayah dg membaca alquran dan kalimat2 toyibah krn setiap hurup ada nilai pahala,tentunya pahalanya untuknya “a idza matabnu aadama……doa ank sholih tentunya sangat diharapkan….smg ank2ku mnjadi ank yg sholih ……..malamnya ku buka surat attaubah ayat 5 shg memotifasi unk beramal sholih (bc tafsir ibnu katsir dan kitab tafsir mu’tabar lainnya…..akhirnya sy dpt memetik hikmahnya bahwa dlm memahami alquran dan hadits tdk dpt sec. apa adanya ttp perlu pemahaman yg luas dan hikmah yg terndung di dlmnya krn begitu sangat sedikit ilmu dan pemahaman kita,……setelah mengalami kejadian2 tsb baru trs hikmahnya. wallahu ‘alam

  34. di riwayatkan abi daud dari sa ad bin ubadah..dia brkata p:Ya rasulullah sungguh ibu saya meninggal .apakah saya akan bersedakah untuk dia. Rasul menjawab :NA AM

    • Apa hubungannya izin sedekah dgn berkumpul di rumah orang mati tiga, tujuh dan seterusnya. Apa ada keterangan di situ ibunya memberi sedekah dgn cara meminta orang berkumpul di rumahnya buat tahlilan?

    • Gada hubungannya masalah hadiah pahala sama tahlilan…

      Hadiah pahala memang ada, dalilnya juga jelas, fatwa para ulama tentangnya juga banyak…. tapi tahlilan….. nggak deh…

  35. point 1. Yang ditekankan penulis i’anatuth tholibin adalah:
    ما يفعله الناس من الاجتماع عند أهل الميت وصنع الطعام.

    Jadi perkara yang ditanyakan pada seblum klimat ini termasuk dari konteks kalimat ini. Kalimat ini lebih umum dari apa yang ditanyakan. Klo misalkan yang dimaksud sama persis yang ditanyakan pasti ada qorinah yang menunjukkannya. seperti pengulangan pertanyaan atau kata “seperti ini”. waah, anda su’udzon rupanya. gak mutu nich tulisan

Leave a comment